Para pembaca yang semoga dirahmati Allah, jika kita melihat keadaan umat Islam sekarang, kita akan bertanya-tanya, mengapa terjadi perbedaan antara paham yang satu dengan yang lainnya? Kenapa terjadi perselisihan antara kelompok satu dengan yang lainnya? Dan kenapa terjadi perpecahan antara umat Islam itu sendiri? Semoga tulisan ini sedikit banyak bisa membantu memahaminya dan mengamalkan solusi yang tepat untuk persatuan umat Islam, insya Allah.
Perbedaan makna antara perselisihan (Ikhtilaf) dan perpecahan (iftiraq)
Kebanyakan kita salah kaprah antara makna perselisihan dan perpecahan sehingga menghasilkan kesimpulan serta solusi yang salah dalam menjalankannya.
Secara etimologi (bahasa), iftiraq berasal dari kata al mufaaraqah (saling berpisah), al-mubaayanah (saling berjauhan), al mufaashalah (saling terpisah), serta al inqitha’ (terputus). Diambil juga dari kata al insyi’ab (bergolong-golongan) dan asy syudzudz (menyempal dari barisan). Bisa juga bermakna memisahkan diri dari induk, keluar dari jalur, dan keluar dari jama’ah.Â
Secara terminologi (istilah), “perpecahan” adalah keluar dari As Sunnah dan Al Jama’ah (baca : ijma’) dalam masalah pokok agama yang qath’i (pasti), baik secara total maupun parsial, baik dalam masalah i’tiqad (keyakinan) ataupun masalah amaliyah (perbuatan) yang berkaitan dengan pokok agama atau berkaitan dengan maslahat umat atau berkaitan dengan keduanya sekaligus. (Lihat Al Iftiraq, Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim Al ’Aql)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa yang keluar dari ketaatan kepada pemerintah dan meninggalkan jama’ah lalu ia mati, maka ia mati seperti kematian orang jahiliyah. Siapa yang berperang dibawah panji yang tidak jelas, marah karena kesukuan atau mengajak kepada kesukuan, atau menolong karena kesukuan lalu terbunuh maka ia terbunuh seperti terbunuhnya orang jahiliyah. Barangsiapa yang memberontak dari umatku (kaum muslimin) lalu membunuhi mereka, baik yang shalih maupun yang fajir dan tidak menahan tangan mereka terhadap kaum mukminin serta tidak menyempurnakan perjanjian mereka kepada orang lain, maka ia bukan termasuk golonganku dan aku bukan golongannya” (HR. Muslim)
Dari penjelasan ini, perpecahan sangatlah berbeda dengan perselisihan, karena :
Pertama, perpecahan adalah buah dari perselisihan, sehingga tidak semua perselisihan disebut perpecahan, akan tetapi setiap perpecahan sudah pasti perselisihan.
Kedua, perpecahan terjadi pada masalah pokok-pokok agama yang sudah pasti, semisal Al Qur’an adalah kalamullah (firman Allah). Maka barangsiapa yang mengatakan Al Qur’an adalah makhluk, ia telah keluar dari ahlus sunnah. Adapun perselisihan, hal ini terjadi pada cabang-cabang agama, semisal perbedaan masalah pengamalan qunut subuh atau selainnya dari cabang agama. Sehingga kita tidak boleh menghukumi orang lain yang berbeda dengan kita dengan kekufuran atau keluar dari ahlus sunnah.
Ketiga, Perpecahan tidak terlepas dari ancaman, siksa, serta kebinasaan. Sedangkan perselisihan walau bagaimanapun bentuk perselisihan yang terjadi antara kaum muslimin, baik akibat perbedaan dalam masalah-masalah ijtihadiyah, atau akibat mengambil pendapat keliru yang masih bisa ditolerir, tidak diancam sebagaimana jika terjadi perpecahan.
Perpecahan adalah kepastian
Perpecahan adalah suatu hal yang pasti, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai” (QS. Ali Imran : 103)
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka” (QS. Al Imran : 105)
Rasulullah pun bersabda, “Orang-orang Yahudi telah berpecah belah dalam tujuh puluh satu kelompok dan Nashora berpecah belah menjadi tujuh puluh dua kelompok, serta umat ini (Islam-red) akan pecah menjadi tujuh puluh tiga kelompok”. (HR. Tirmidzi)
Dari hal ini, perpecahan merupakan sunnatullah yang pasti terjadi. Namun perpecahan adalah suatu hal yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, sehingga perlu dicari langkah untuk mencegahnya.
Sebab-sebab terjadi perpecahan
Diantara sebab terjadi perpecahan:
- Tipu daya dan makar musuh Islam
Perpecahan adalah hal yang sangat disukai oleh musuh Islam. Mereka selalu berupaya membuat umat Islam berselisih yang akhirnya menimbulkan perpecahan.
Banyak sekali perang pemikiran yang mereka lancarkan untuk memuluskan rencana mereka. Hal ini sebagaimana yang Allah firmankan (yang artinya), “Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (QS. Al Baqarah : 109)
- Kurangnya ilmu agama
Banyak perpecahan timbul karena kurangnya pemahaman akan agama. Mereka berselisih dalam suatu hal yang sebenarnya tidak pernah ada dalam Al Qur’an dan sunnah rasul, dan dikatakannya sebagai suatu ibadah. Yang akhirnya timbullah perpecahan disebabkan paham mereka masing-masing.
Padahal Allah berfirman, (yang artinya), “Katakanlah:”Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui” (QS. Az Zumar : 9)
Sufyan Ats Tsauri berkata, “Sungguh seorang alim lebih ditakuti syaitan dari seribu ahli ibadah“.
Abul ’Aliyah pun berkata, “Belajarlah Islam, apabila kalian telah mempelajarinya maka jangan membencinya” (Diriwayatkan Al Ajurri dalam kitab Asy Syari’ah, 1/31)
- Kesalahan dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah dan menerima ilmu agama
Perpecahan yang banyak terjadi disebabkan karena adanya perbedaan pemahaman di dalam memahami makna dan maksud yang terkandung dalam Al Qur’an dan hadits nabi.
Padahal, cara untuk memahami keduanya telah dijelaskan dan dijabarkan oleh para pendahulu kita.
Diantara fenomena kesalahan dalam menerima ilmu agama adalah:
a. Mengambil ilmu bukan dari ahlinya. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekaligus yang ia cabut dari hamba-Nya, namun mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama hingga bila tidak tersisa seorang alimpun maka manusia mengangkat para tokoh yang bodoh lalu mereka ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan” (HR. Bukhari)
b. Tidak merujuk kepada para ulama sama sekali
c. Meremehkan dan merendahkan para ulama
- Kecemburuan dan kedengkian
Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”. (QS. Ali ‘Imran : 19)
- Sikap berlebih-lebihan terhadap agama
Allah berfirman (yang artinya), “Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar” (QS. An Nisaa : 171)
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pun melarangnya dalam sabda beliau, “Wahai sekalian manusia, jauhilah sikap berlebihan dalam agama, karena orang sebelum kalian binasa karena sikap berlebihan dalam agama” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)
- Fanatik buta terhadap ulama
Perselisihan antara ulama terkadang menimbulkan perpecahan yang disebabkan karena fanatiknya seseorang dalam mengikuti ulama tersebut. Menganggap apa yang disampaikan ulamanya adalah benar tanpa ada kesalahan apapun adalah ciri orang-orang yang fanatik buta terhadap ulamanya.
Solusi dan cara agar terhindar dari perpecahan
Solusi dari perpecahan adalah dengan bertakwa kepada Allah dan kembali kepada Al Qur’an dan sunnah Rasul.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul (Nya), serta ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah ( Al Qur’an ) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar- benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisaa : 59)
“Dari Al ’Irbadh bin Saariyah beliau berkata, “Rasulullah telah menasehati kami pada satu hari dengan satu nasehat yang membuat mata menangis dan hati bergetar. Lalu seseorang berkata, “Sungguh ini adalah nasehat orang yang akan berpisah, lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami wahai Rasulullah!?” Maka beliau bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah dan mendengar dan taat (kepada penguasa) walaupun dia adalah budak habasyi, karena siapa saja dari kalian yang hidup setelahku akan melihat perselisihan yang banyak, dan hati-hatilah kalian dari hal-hal yang baru dalam agama” (HR. Al Tirmidzi)
Orang yang bertakwa kepada Allah, maka ia tidak akan tertipu dengan makar yang dilancarkan oleh musuh Islam. Ia mengetahui bahwa perpecahan adalah kemunduran, dan janji Allah bagi orang-orang yang yakin dengan keyakinannya adalah surga-Nya.
Orang yang bertakwa kepada Allah, ia akan berusaha mencari-cari ilmu akan Allah dan agama-Nya. Sebagaimana orang yang sedang jatuh cinta, ia akan berusaha mencari tahu akan seseorang yang dicintainya.
Orang yang bertakwa kepada Allah, ia tidak akan merasa dengki ataupun cemburu kepada sesamanya. Ia tahu akan takdir Allah dan mengerti bahwa kecemburuan dan kedengkian adalah penyakit hati yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya.
Dan ketika seseorang berpegang teguh terhadap Al Qur’an dan Hadits Rasulullah dengan pemahaman yang benar, yang sesuai dengan pemahaman para sahabat dan ulama terdahulu, maka ia akan mengambil pendapat yang paling sesuai dengan Al Qur’an dan Hadits Rasulullah. Jika ulamanya salah dan menyelisihi keduanya, ia tidak akan fanatik buta dan kembali kepada Al Qur’an dan Hadits Rasul.
Dengan berpegang teguh kepada keduanya, ia paham akan bahayanya berlebih-lebihan dalam agama, dan ia tahu bahwa perselihan adalah awal mula perpecahan. Sehingga apapun yang diperselisihkan, selama hal tersebut bukan terjadi dalam pokok-pokok ajaran Islam, ia tetap menghormati pendapat tersebut selama masih bersumber terhadap Al Qur’an dan hadits Rasul dengan pemahaman yang benar.
Wa shallallahu ala nabiyyina Muhammad wa ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Penulis : Rian Permana, S.T. (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Muroja’ah : Ust. Aris Munandar, M.PI